HARTA
Harta seperti didefinisikan para ulama, adalah segala
sesuatu yang dimiliki dan disenangi manusia, dapat disimpan dan dimafaatkan di
waktu perlu baik itu jenis barang bergerak dan barang tidak bergerak (Dr.
Zuhayli,al Fiqh al Islami, 4/41). Al-alamah Ibnu Khaldun menegaskan:
Hakikat yang tidak dapat dipungkuri oleh siapapun
bahwa harta adalah kebutuhan pokok bagi manusia baik untuk keperluan
makan–minum,pakaian dan tempat tinggal.
Tegasnya bahwa harta dapat memenuhi tuntutan keperluan
primer,sekunder dan komplementer.
Ibn Nujaim dalam kitabnya al-Bahr, mengidentifikasikan
bahwa harta adalah nama yang diberikan untuk selain manusia, diciptakan untuk
keperluan hidup insan,dapat disimpan dan dimanfaatkan setelah adanya ikhtiar
dan usaha manusia baik secara kolektif ataupun individu, dengan demikian
jadilah ia sesuatu yang berharga dan sah dimanfaatkan menurut hokum
syariah.
Kriteria Harta
Ada empat kriteria harta dapat diambil dari pendapat Ibnu Nujaim yakni:
Pertama, sesuatu itu akan dianggap sebagai harta bila ada
unsur usaha dan kerja yang dilakukan manusia terhadap sesuatu itu, baik secara
individu ataupun kolektif. (Unsur usaha dan kerja)
Kedua, sesuatu yang sudah dianggap sebagai harta akan
terus memiliki sifat tersebut selama belum ditinggalkan seluruh orang. Jika
sebagian orang telah meniggalkannya karena sudah tidak dapat dimanfaatkan,
namun sebagian orang lain masih dapat memanfaatkan, maka itu masih disebut
harta. (Unsur manfaat dan dapat disimpan)
Ketiga,sesuatu yang dianggap sebagai harta harus selalu
beriringan dengan sifat berharga karena dianggap sah dan halal oleh syariat.
Jika ada sesuatu yang dianggap sebagai harta, namun tidak mendapat
rekomendasi/bertentangan dari sisi syariah, maka benda tersebut tidak disebut
harta. (Unsur Harga)
Keempat, kepemilikan harta tersebut dilindungi syariah
dari segala tindak criminal karena harta adalah dimuliakan dan dihormati. Namun
kemuliaan dan kehormatan harta tersebut sangat terkait dengan ketentuan
syariah. (Dimuliakan dan dilindungi syariah)
Harta dari Perspektif Maqasid Syariah
Para ulama Usul Fiqh menggariskan bahwa maqasid (objective)
syariah ada lima yaitu : memelihara maslahat agama, jiwa, akal, keturunan (Kehormatan
diri) dan harta. Harta dan maqasid
harta itu ada tiga:
Pertama, Sirkulasi. Harta (diukur dengan uang) dimaksudkan untuk selalu bersirkulasi dan
berputar dalam proses produksi dan aktifitas
ekonomi supaya selalu menghasilkan pengembalian (return) yang baik. Pada hakikatnya uang
hanyalah sebagai alat tukar yang setiap orang mempunyai kesempatan yang sama
untuk memilikinya. Jadi setiap tindakan menimbun harta adalah dilarang dalam Islam, sebab
akan memperlambat perputaran uang yang pada nantinya akan memperlambat
pertumbuhan ekonomi.
Zakat adalah salah satu jalan memasukkan uang dalam
sirkulasi aktivitas ekonomi, sehingga islam akan memerangi setiap orang yang
tidak mau melakukannya. Untuk menjami sirkulasi dan distribusi uang
dengan baik, maka ada beberapa cara untuk melakukanya.
- Islam melarang menumpuk-numpuk harta dengan tidak tidak mengeluarkan zakatnya.
- Larangan dari praktek riba.
- Larangan judi (Maysir).
- Larangan menimbun (Ihtikar).
- Larangan harta menumpuk di segelintir orang.
- Dihalalkan transaksi (muamalah).
Kedua, jelas dan bersih (transparacy). Kepemilikan harta
harus jelas dan bersih dari segala masalah yang akan mengakibatkan perselisihan
pada pemiliknya. Oleh karena itu,syariah menggariskan ketentuan yang harus
dipatuhi dalam hubungan transaksi.
- Dokumen. Harus dilakukan suatu pencatatan untuk menjaminnya terlaksananya transaksi dengan baik. Hal ini sesuai dengan Al Quran, surat Al Baqarah ayat 282.
- Saksi. Hal inipun juga diperintahkan dalam transaksi, untuk berjaga-jaga dari kemungkinan terjadinya masalah dikemudian hari. Sesuai dengan Al Quran, surat Al Baqarah ayat 282.
- Jaminan. Merupakan suatu barang yang diambil dan disimpan dari transaksi kredit untuk menghindari dari masalah terjadinya wanprestasi (ingkar janji). Sesuai dengan AlQuran, surat Al Baqarah ayat 283.
Ketiga, Keadilan (justice).sikap adail ini juga berarti
kepemilikan harta harus adil terhadap:
- Hubungan kepada Allah SWT
- Jiwa dan dirinya sendiri
- Orang tua/keluarga
- Karyawan dan para pekerja
- Menegakkan prinsip nasihat dan mempertahankan kebenaran dan menegakkan supremasi hukum
KEPEMILIKAN
Kepemilikan dalam Islam merupakan suatu ikatan seseorang
dengan hak miliknya yang disahkan syariat. Sehingga kepemilikan harta pun
dibatassi perolehan dan penggunaannya dengan syariah.
Dalam buku Bank Syariah (Antonio Syafii, 1999), pandangan Islam mengenai harta dan kegiatan ekonomi adalah
sebagai berikut:
- Pemilik mutlak terhadap segala sesuatu di muka bumi ini, termasuk harta adalah Allah SWT. Kepemilikan manusia hanyalah relatif untuk melaksanakan amanah mengelola dan memanfaatkannya sesuai dengan ketentuan-Nya.
- status harta yang dimiliki manusia adalah:
- Harta sebagai amanah (titipan; as a trust) dari Yang Menciptakan, karena hakekatnya manusia tidak dapat mengadakan harta dari tiada.
- Merupakan perhiasan hidup yang memungkinkan manusia bisa menikmatinya dengan baik dan tidak berlebih-lebihan (Q.S. Ali Imran 14; Al-Alaq:6-7).
- Harta sebagai ujian keimanan (Q.S. Al-Anfal:28).
- Harta sebagai bekal ibadah, yaitu untk melaksanakan perintah-Nya dan melaksanakan muamalah diantara sesama manusia, terutama kegiatan zakat, infaq, dan shadaqah (Q.S. At-taubah 41,60 ; ali Imran133)
Pemilikan harta dapat dilakukan antara lain melalui usaha (a’mal) dan mata
pencaharian (ma’isyah) yang halal dan sesuai dengan aturan-Nya. (Q.S.
Al-mulk:15 ; Al-Baqarah:267; at-taubah:105; Al-Jumu’ah:105).
Sesungguhnya Allah mencintai hamba-Nya yang bekerja.
Barang siapa yang bekerja keras mencari nafkah yang halal untuk keluarganya,
maka sama seperti mujahid di jalan Allah (HR Ahmad)
Mencari rizki yang halah adalah wajib setelah kewajiban
yang lain (HR Thabrani)
Jika telah melakukan shalat subuh janganlah kalian tidur,
maka kalian tidak akan sempat mencari rizki (HR Thabrani)
Dilarang mencari harta, berusaha, atau bekerja yang dapat
melupakan dari kematian (Q.S. At-Takatsur:1-2), melupakan dzikrullah (dan tidak
ingat Allah dan segala ketentuan-Nya – Q.S. Al-Munafiqun:9), melupakan shalat
dan zakat (QS An-Nur:37), dan memusatkan kekayaan hanya pada sekelompok orang
kaya saja (QS Al-Hasyir :7).
Dilarang menempuh usaha yang haram melalui kagiatan riba (al-Baqarah:
273-281), perjudian, berjual beli barang yang dilarang atau haram (Al-Maidah
:90-91), mencuri,merampok, penggasaban (Al-maidah 38), curang dalam takaran dan
timbangan (Al-Muthafiffin:1-6), melalui cara-cara yang bathil dan merugikan
(Al-Baqarah:188) dan melalui suap-menyuap (HR Imam Ahmad).
Ketentuan syariat yang mengatur mengenai kekayaan pribadi
(Abdul Manan, 1970/1997) :
- Pemanfaatan secara berkelanjutan; Islam tidak memperbolehkan memiliki kekayaan yang tidak dipergunakan.
Hadist: orang yang menguasai tanah tak bertuan, tak lagi
berhak menguasai bila telah 3 tahun tidak menggarapnya dengan baik. Sehingga
siapa saja yang mengerjakan tanah tak bertuan akan lebih berhak atas tanah itu.
Negara (Islam) dapat mencabut kepemilikan
bila:
- Pemilik boros dan tidak produktif
- Menggunakan untuk cara tertentu dan mengabaikan cara lain (penanaman modal)
- Pemusatan kekayaan yang merugikan masyarakat
Hal ini dilakukakan negara dalam rangka menjaga
keseimbangan dan kepentingan perekonomian.
- Pembayaran zakat; hal ini dilakukan untuk mengurangi (dan mengusahakan peniadaan) kesejangan antara si kaya dan si miskin
- Nfaq; pemanfaatan yang berfaedah di jalan Allah
- Tidak merugikan orang lain.
- Kepemilikan dilakukan secara sah (baik mendapat atau menyalurkannya)
- Penggunaan yang berimbang (tidak boros dan tidak kikir)
- Pemanfaatan sesuai hak dan peruntukannya.
- Pemanfaatan untuk kepentingan kehidupan (termasuk dengan hukum waris)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar